Siang itu,
saat matahari mulai condong ke Barat. Dengan punggung menahan beban yang
lumayan berat dan rasa lelah yang menyelimuti tubuh, aku berjalan dengan muka
lesu setelah 9 jam belajar. Waktu yang lama bagi—anak kelas 6 seperti—ku.
Perutku
mulai bernyanyi. Aku lapar. Terlintas di otakku untuk melewati lorong sempit di
sebelah sekolah agar mencapai rumah lebih cepat. Hmm… ya, setelah ku
pikir-pikir, aku memutuskan untuk melewati gang sempit itu.
Berjalan
selangkah-demi selangkah, aku melewati hampir sepertiga lorong sempit itu.
Derap-derap langkah ku dengar. Aku menoleh ke belakang. Oh, ternyata dua
temanku berjalan disebelahku. Kurasakan telepon genggamku bergetar. Aku merogoh
saku rokku. Ada sms ternyata. Aku berhenti berjalan dan membalas sms tersebut.
Mungkin, karena dua orang temanku sedang terburu-buru, mereka akhirnya
mendahuluiku. Baiklah. Aku acuhkan mereka. Aku
juga berani kok, pikirku.
Setelah sms
ku terkirim. Aku memasukkan kembali ke dalam saku rokku. Aku mulai berjalan
lagi. Beberapa langkah berjalan, aku melihat seorang nenek berambut putih dan
memakai kebaya batik model lama. Dia berjalan sedikit terseok-seok. Aku melihatnya
tanpa ada rasa curiga ataupun aneh. Karena di sekitar sekolahku juga banyak
orang tua.
Aku menatap
ke depan dan melihat dua orang temanku dengan mudahnya melewati nenek
itu-karena nenek itu—saat itu--berada di pinggir lorong. Aku terus berjalan dan
akhirnya sampailah pada moment dimana aku harus melewati nenek tersebut.
Nenek itu
berjalan ke tengah lorong. Aku berusaha melewatinya dari samping kiri. Tapi,
mungkin karena lorong yang sempit, aku gagal melewati nenek itu. Aku mencoba
dari sisi kanan. Tak bisa juga. Aku mulai tak sabar. Selain karena aku lapar,
aku juga merasa lelah sore itu. Akhirnya aku melihat nenek itu dengan wajah
jengkel. Mungkin, di sms emotion, ekspresiku akan seperti ini (-_-).
Nenek itu
balik menatap mataku. Aku dan nenek itu—jadilah—saling bertatapan sengit satu
sama lain. Jika dalam film-film animasi atau kartun, (mungkin) antara mataku dan mata nenek itu akan
terdapat aliran listrik yang kuat. :P
Tiba-tiba
nenek itu mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan tangannya ke bahuku sambil
berkata, “Putuku….(Jawa : Cucuku)” . Aku kaget dan menghindar. Nenek itu
terlihat jengkel. Dia mencoba menyentuh bahuku dengan tangan kirinya. “Nang
endi wae kowe kuwi (Jawa : Kemana saja kamu itu) ??” Aku menepisnya dan wajahku
berubah menjadi ekspresi yang benar-benar marah. Sedangkan ekspresi nenek itu
berubah menjadi sedikit sadis dan memaksakan.
Aku tak
tahu kalau ekspresi nenek itu bisa berubah menjadi begitu menyeramkan. Aku
mundur selangkah demi selangkah. Nenek itu berjalan mendekatiku. Aku semakin
merinding. Aku berbalik dan berlari kembali menuju sekolahan. Aku tak mau lagi
menoleh ke belakang.
Sesampainya
di samping sekolah, aku mulai berteriak tidak jelas. “Lari!!! Ada orang gila
dibelakangku!!!!”. Beberapa temanku yang sedang menunggu jemputan melihatku
dengan wajah aneh dan bingung. Ada juga temanku yang—mungkin—menertawakan
ekspresiku waktu itu.
Ah,
sudahlah. Itu pengalaman yang aneh, lucu, menakutkan, dan menegangkan. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar