Menu

Kamis, 12 Juni 2014

Melanjutkan Drama

Tiga Sekawan
Andi adalah salah satu murid yang tidak favorit di sekolah yang favorit. Dia tidak memiliki begitu banyak teman. Sehingga, tak banyak pula yang mengenalnya. Setiap hari, saat istirahat, dia selalu menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan . Bukan karena dia rajin membaca, tetapi, karena dia tidak memiliki cukup kawan untuk bermain dan tidak memiliki uang untuk pergi ke kantin.
Siang itu, Andi sudah berada di perpustakan sedang membaca buku berjudul “Bersepeda untuk Kebugaran”. Pada saat itu dia sedang asyik membaca, tiba-tiba ia mendengar suara kertas disobek. “Kreek”.
Andi    : (penasaran dengan suara itu, berusaha memastikan, berjalan menuju asal suara) Apa yang dilakukan mereka? (mengintip di sela-sela buku di rak lain, dua teman lain kelasnya sedang menyobek kertas di salah satu buku milik perpustakaan sekolah)
Andi    : Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menegur mereka? Ataukah aku harus melaporkan kepada petugas perpustakaan? (tanyanya dalam hati).

Andi bingung, ia kembali ke bangkunya lagi. Namun, dia berusaha tidak menghiraukan peristiwa itu. Ternyata, hal itu tidak terjadi sekali saja. Beberapa kali Andi melihat kejadian itu. Kali ini Andi merasa perlu menxari tahu.
Andi    : Hari ini mereka tidak ke sini. Aku harus tahu apa yang mereka sobek. (menuju rak tempat buku yang diobek mereka)
Andi    : Ini adalah rak pertama, aku harus menemukan bukunya. Dimana ya...? (membuka-buka buku satu persatuu) Nah! Ini dia!
Andi    : Aku harus ke rak berikutnya. (begitu seterusnya, hingga Andi dapat membawa semua buku)
Andi    : “Sejarah Kota Kembang”, “Dia yang Menumpuhkan Darah Rakyat”, “Rusaknya Stabilitas Negara”, “Sang ‘Desroyer’”, “Antara Politik dan Kesetiakawanan”, “Lebih Baik Bungkam daripada Dibungkam”, “Surat dari Tanah Merah”, “Ibu... Aku Buta Karenamu”. (Andi semakin bingung dengan judul-judul buku ini, kemudian dia membalik-balik bagian yang disobek)

Saat Andi membuka semua buku di bagian yang tersobek, ternyata Petugas Perpustakaan (PP) melihatnya dan memperhatikan.
PP        : (melihat Andi) Andi! Kamu apakan buku-buku itu!
Andi    : e...e... saya ndak tahu. Saya dapat buku ini sudah begini, Bu.
PP        : Tapi kenapa semua? Apa ini kebetulan semua? Jelaskan!
Andi    : e..e... (Andi bingung menjelaskannya)
PP        : Nah, kamu tidak bisa menjelaskan kan?
Andi    : Tapi, bukan saya yang melakukan ini, Bu. Betul.
PP        : Saya ndak mau tahu, kamu sudah tertangkap basah merusak buku milik perpustakaan. Menurut peraturan, kamu harus menggantinya, maksimal sebelum kamu mendapatkan ijazah.
Andi    : Tapi... Bu... (belum sempat menjelaskan, PP sudah pergi dengan raut wajah marah, setelah mencatat buku yang ada di hadapan Andi. )
Kebingungan Andi semkain bertambah. Antara penasaran dengan perilaku mereka dan berusaha mencari tahu, bingung harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak dilakukannya.
Andi memutuskan untuk mencari tahu apa yang dilakukan kedua temannya tersebut sebelum memberi pertanggungjawaban pada PP. Esoknya, ia datang ke perpustakaan seperti biasanya dan melihat kedua temannya sedang sibuk membuka-buka halaman.
Andi    : (berdiri di belakang kedua temannya)
Anak 1 : Tidak, bukan ini ...
Anak 2 : Kelihatannya masih berhubungan ‘kan? Cepatlah, sebelum petugas yang galak itu tahu.
Anak 1 : Tidak, cari buku yang lain. (berbalik hendak mencari buku lain. Namun kakinya menginjak kaki Andi)
Andi    : Aduh! (Refleks meloncat-loncat sambil memegang kaki kanannya)
Anak 1 : Whoa! (terkejut melihat Andi)
Anak 2 : Whoa! (ikut terkejut) Hei, apa yang kau lakukan disini?!
Andi    : Eh ... aku mau mencari buku .. (berlagak linglung)
Anak 1 : Kau menguping pembicaraan kami?
Andi    : Maaf, aku tak sengaja mendengarnya. Sepertinya kalian kebingungan. Ada yang bisa kubantu?

Anak 1 dan Anak 2 berpandangan, saling memberi isyarat.
Anak 1 : (berbisik pada temannya) Menurutku dia bisa dipercaya.
Anak2 : Dia sengaja menguping!
Anak1 : Lihat, dia memakai kacamata bingkai tebal, pakaiannya rapi dan terlihat rajin. Kutu buku sejati! Mungkin saja dia lebih pintar dari kita.
Anak2 : Maksudmu... Oh, baiklah. Terserah saja!
Anak 1 : (menatap Andi dan mengulurkan tangannya) Aku Erwan dan temanku ini Didit. Dia memang gampang marah tapi sebenarnya baik. Siapa namamu?
Andi    : (menghela nafas) Aku Andi, teman sekelas kalian.
Erwan  : Sungguh? Aku tak pernah melihatmu. (mengingat-ingat)
Andi    : Sudah, tidak apa-apa. Jadi, apa yang kalian cari?
Erwan  : Kami mencari buku sejarah.
Andi    : Mengenai apa? Seingatku tidak ada tugas sejarah.
Erwan  : Memang kami tidak sedang mencari tugas, tapi hanya sekedar ingin tahu. Kau tahu buku pemerintahan lama orbar?
Andi    : Buku sejarah ada di rak ketiga dari sana.
Erwan  : Ya, tapi kami belum menemukan petunjuk penting.
Andi    : Petunjuk apa?

Didit merasa tidak nyaman dengan percakapan ini dan memutuskan menghentikan Erwan.
Didit    : Aku tak butuh bantuannya, Er.
Erwan  : Kenapa? Bukankah bagus, kita bisa mendapat faktanya lebih cepat.
Didit    : Sudahlah. Jangan seret dia dalam masalah ini.
Erwan  : Tenanglah. Aku cuma meminta bantuannya untuk membantu mencari informasi.

Andi semakin penasaran. Ia tidak mau menyerah mencari tahu apa yang sebenarnya mereka
cari.
Andi    : Aku tidak keberatan kok kalian minta bantuanku. Kalau perlu aku akan merahasiakannya.
Erwan  : Lihat. Sudah kubilang dia bisa dipercaya.
Didit    : Tapi aku tidak sependapat. Dia orang baru! Kau tidak bisa begitu saja percaya!
Erwan  : Dit, sejujurnya aku ragu apakah kita bisa menemukan kebenarannya jika cuma berdua. Satu-satunya jalan adalah mencari anggota yang lebih pintar.
Didit    : Memang kau tahu apa soal dia? (menunjuk-nunjuk Andi) Kenal saja barusan, kau mau cari masalah?!
Andi    : (kebingungan)  Maaf, tapi sebentar lagi bel. Biar kucarikan buku yang sekiranya kalian butuhkan.
Erwan  : (tersenyum pada Andi) Ya.

Sementara Erwan menenangkan Didit, Andi mencari buku-buku sejarah yang kelihatannya sudah agak usang. Andi merasa tertarik dan ia harus ikut dalam rencana kedua temannya itu. Ia kembali dan menyerahkan buku-buku itu pada Erwan.
Erwan  : Makasih. Nah .... (membuka-buka halaman, Andi dan Didit memperhatikan) Hm .. Ini informasi penting. (menyerahkan buku pada Didit. Didit menerima dan membacanya. Kemudian hendak menyobek buku itu)
Andi    : Jangan, jangan disobek! (Suara Andi terlalu keras sehingga PP menoleh  ke arah mereka. Dengan murka ia mendatangi kelompok Andi dan berteriak)
PP        : Dilarang menyobek atau mencoret-coret halaman buku milik perpustakaan! (melihat Andi) Kau lagi! Mengulangi kesalahan kemarin!?
Didit    : Kabuuur! (Berlari meninggalkan PP diikuti Erwan sementara Andi disidang di tempat, pasrah)

Sementara itu bel berbunyi dan murid-murid kembali ke kelas, termasuk Andi.  Ia tak melihat Erwan dan Didit di kelas. Namun ada tulisan di buku catatannya. Andi diminta pulang sekolah nanti datang ke ruang Kimia untuk membahas masalah tadi.
Sepulang sekolah di ruang Kimia.
Andi    : Harusnya mereka ada di sini (menegok ke kanan kiri) tapi tak ada siapa-siapa. Mereka kemana? (Ia melihat tumpukan kertas fotokopian di salah satu kolong meja dan membacanya. Ternyata itu lembaran fotokopian buku sejarah yang tadi dicarinya. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki. Erwan datang diikuti Didit. Mereka bernafas sepotong-sepotong setelah berlarian)
Didit    : (melihat kertas yang dipegang Andi) Tuh! Kau saja yang lupa meletakkannya!
Erwan  : Untung, kukira tertinggal! (menarik kursi di sebelah Andi dan duduk) Oh iya, Ndi. Maaf tadi kami meninggalkanmu.
Andi    : (Tertawa pahit) Ya, tidak apa-apa.
Didit    : Itu salahnya sendiri berteriak-teriak dan tidak langsung kabur.
Erwan  : Apa boleh buat, PP memang suka cari korban. (Mereka bertiga tertawa)
Andi    : Ada apa kalian memanggilku?
Erwan  : (menyamankan posisi duduknya) Sebenarnya kami memutuskan untuk melibatkanmu dalam misi ini. (melirik Didit)
Andi    : (Andi duduk tegak, keingintahuannya memuncak) Misi apa?
Erwan  : Sebenarnya ini mengenai keluarga Didit. Kau tahu kan masa pemerintahan Orde Baru yang katanya rakyat hidup makmur itu?
Andi    : (mengangguk) Ada apa dengannya?
Didit    : Ayahku kelahiran Bandung. Sejak kecil beliau punya jiwa patriotisme dan rasa kebenaran yang kuat. Di usia remaja beliau sudah aktif berorganisasi. Kemudian beliau menjadi jurnalis di media yang terkenal saat itu. Informasi-informasi yang disembunyikan oleh pemerintah dibeberkan agar masyarakat tahu kebobrokan dalam sistemnya.
Andi    : Oh, mengenai pembersihan masyarakat yang menentang kebijakan Soeharto? Seingatku sebagian besar informasi di media dikuasai pemerintah.
Erwan  : Ya, akibatnya para ABRI yang dielu-elukan masyarakat saat itu bertindak sewenang-wenang dengan dalih mengatasnamakan bangsa.
Didit    : Ayahku ditangkap karena dituduh bergabung dengan PKI. Padahal beliau tidak pernah sekalipun berniat membunuh orang!
Erwan  : Jadi kita disini mencari cara untuk membebaskan ayah Didit.
Andi    : Kenapa bisa ditangkap? Bukannya zamannya Soeharto sudah berakhir?
Erwan  : Kau tahu, kan apa yang disebut sebagai pengikut setia atau bekas aliansi?
Didit    : Seperti itulah, jadi mulai sekarang kita akan terus mencari kebenaran mengenai masalah ini. Setiap ada informasi baru, cepat beritahu! Terutama tentang tempat penyekapannya. Waktu dua orang waktu itu membicarakan sesuatu, aku dengar mereka membawanya ke ‘penjara yang biasanya’.
Andi    : (merasa bersemangat dan mengepalkan tangan) Baiklah!

Di kelas, mereka selalu bertukar informasi. Semakin lama semakin banyak informasi yang mereka peroleh dan mereka menjadi sahabat yang tidak terpisahkan. Teman-teman sekelas menyebut mereka dengan sebutan ‘Tiga Sekawan’.
Mereka menyelidiki letak insiden-insiden yang terjadi masa Orbar, seperti pembantaian Lubang Buaya, Pembantaian umat muslim, tawanan yang dibunuh tanpa diadili, sampai orang-orang hilang masa itu. Andi, yang bapaknya seorang Polisi, membatu Tiga sekawan yang sedang mencari data tentang penjara tersembunyi.

Polisi    : Penjara tersembunyi? Memang pemerintah punya bangunan seperti itu, tapi mengenai letaknya, aku tak tahu dimana.
Andi    : Apakah penjara tersembunyi itu ada banyak, Pak?
Polisi    : Jumlahnya pun aku kurang yakin. Yang pasti mereka tersebar di wilayah Indonesia.
Polisi 2 : Setidaknya aku pernah dengar cerita kalau memang ada penjara bawah tanah yang sudah tidak digunakan, tapi sudah dihancurkan.
Polisi 3 : Aku baru bekerja di sini, tapi belum pernah dengar ada penjara tersembunyi.
Polisi 4 : Yang aku tahu penyekapan macam itu dulu sering terjadi dan langsung dibereskan di tempat.
Andi    : Begitu, Pak? Baiklah, terimakasih, Pak.
(Tiga Sekawan terus menggali informasi di kepolisian, namun nihil)
Andi    : (menghela nafas) Informasi kita masih kurang, polisi tidak banyak membantu.
Erwan  : Namanya saja tersembunyi, pasti sulit dicari.
Didit    : Jangan mengeluh! Setidaknya susun informasi yang kita terima!
Erwan  : Selagi kalian menyusun, aku haus. Apa disini ada minimarket?
Didit    : Di dekat perempatan. Titip untukku juga! (Erwan pergi meninggalkan Andi dan Didit)
Andi    : (membaca-baca informasi yang sudah diterima) Aku penasaran dengan penjara bawah tanah ini. Polisi tadi menyebutkan tempatnya di dekat sini.
Didit    : Mau coba periksa?
Andi    : (mengangkat bahu) Belum tahu pasti tempatnya. (Beberapa menit kemudian, Erwan muncul tergopoh-gopoh) Ada apa, Wan?
Erwan  : Aku dapat informasi baru!
Didit    : Dari mana?
Erwan  : (agak kebingungan) Aku tidak tahu siapa, yang pasti, dia mantan anggota ABRI! Aku bertemu dengannya saat berjalan ke minimarket, lalu aku dengar gumamannya. Dia termasuk anggota yang melakukan ‘pembersihan’. (Erwan lalu menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Dia menceritakan perihal penjara bawah tanah yang ternyata terdapat di hutan kota yang cukup terpencil namun dekat)
Didit    : (menatap Erwan dengan curiga) Kau tidak bicara sama orang gila ‘kan?
Andi    : Kalau begitu, jelas kita harus menyelidiki penjara bawah tanah itu!

Tiga sekawan memulai penyelidikan di hutan. Mereka memutari hutan dan beberapa kali memutari, sampai mereka menemui lubang yang berukuran kurang lebih 50 cm.
Erwan  : Itu lubang? Lubang yang rapi!
Didit    : Buat apa lubang di sini?
Andi    : Dan lagi, sepertinya ada jalan ke bawah. Jangan-jangan... (Tiga Sekawan bersorak senang namun seseorang mendengar mereka dan berteriak)
??         : Woiii!! Siapa disana?!
Erwan  : (melihat wajah garang dan badan kekar orang itu) Waduh, kita ketahuan! Kabur! (Tiga Sekawan berlari tunggang langgang dan tidak berani menoleh ke belakang)

Esoknya, mereka menceritakan hal itu kepada ayah Andi. Ayah Andi mengerti apa yang diceritakan. Tapi dia tidak berpikir negatif.
Ayah Andi      : Apakah ia membawa pistol?
Andi                : Tidak, Ayah. Tapi ia terlihat garang.
Erwan              : Bisa saja dia menyimpan pistol di markasnya.
Ayah Andi      : Dia tidak waspada.

Andi                : Orang itu, yang kemarin berjaga di sini.
Ayah Andi      : Sepertinya ia penjaga hutan ini.
Erwan              : Bagaimana Bapak tahu?
Ayah Andi      : Lambang di pundaknya itu, lambang penjaga hutan resmi kota.
Andi                : Lubangnya ada di dekat mobil jeep itu. Kita harus membuat rencana biar tak diketahui si penjaga!
Didit                : Dibuat pingsan saja! Disini banyak balok kayu.
Erwan              : Terlalu beresiko, bagaimana kalau gagal dan tertangkap?
Ayah  Andi     : Meskipun penjaga hutan sudah diamankan, belum ada kepastian apa yang ada di dalam sana.
Didit                : Kalau begitu diancam saja setelah ditahan,  interogasi! (yang lain mengangguk-angguk, merasa itu adalah ide yang bagus)
Andi                : (menyadari karung pasir yang tertata rapi di belakangnya lalu tersenyum penuh kemenangan) Bagaimana kalau kita buat jebakan? Kita butuh tali dan tempat tinggi!

Ayah Andi dan Tiga Sekawan mulai berdiskusi membuat rencana penangkapan Penjaga Hutan. Mereka mendapat kesepakatan dan menyiapkan properti-properti yang dibutuhkan. Andi berperan sebagai penarik perhatian.
Andi                : (menimpuk kepala PH dengan kerikil dan berteriak keras) Paak tuaaa!
PH                   : (melotot melihat Andi) Bocaah!! (berlari mengejar Andi sampai di titik yang ditentukan)
Ayah Andi      : Lepaskan karungnya!
Erwan & Didit : (mendorong karung pasir dari arah berlawanan. Keduanya menghantam tubuh PH,  membuat PH terjepit di tengahnya dan jatuh. Tiga Sekawan bersorak) Yes!
PH                   : (masih setengah sadar) Bo... Bocah... Berandaaalll!! (Hendak berdiri, namun segera pingsan setelah bunyi “BUAK!!”)
Didit                : (memegang balok kayu yang tadi telah dihantamkan ke kepala PH dengan kedua tangannya)
Ayah Andi      : (menepuk kepala Didit) Bagus. Sekarang kita ikat dia. (tanpa disadari, terdengar bunyi tembakan, mengenai Ayah Andi dan membuatnya pingsan)
Andi                : Ayahh!!
Didit                : Aduh! (seseorang menawannya dari belakang. Didit melihat senjata yang tadi digunakan untuk menembak Ayah Andi)
Penjahat           : Mau apa kalian kesini? (melihat Ayah Andi) Polisi? Kalian memanggil polisi?
Erwan              : Gawat!
Penjahat           : Bocah, di sini bukan taman bermain. (menodongkan pistol ke kepala Didit) Kecuali kalau kalian memang cari mati.
Didit                : Lepas! Lepas!
Penjahat           : (menekan kepala Didit dengan pistol) Diam! Kutembak kalau bergerak!
Andi                : (kebingungan, menoleh ke kanan kiri) Tidak ada senjata, tidak ada apapun!
Penjahat           : Jadi, kalian ke sini mau menangkap kami? (menoleh ke belakang dan menggumam) Duh, di saat begini mana si botak itu?
Erwan              : Bukan, kami cuma mau membebaskan ayah teman kami!
Didit                : Kau menyekap Ayahku! (Didit mulai memberontak sekuat tenaga)
Penjahat           : Oh, ayahmu? Berani juga kau, Bocah. Di sini wilayah kekuasaan kami. Ambil sendiri resikonya. Aku tidak peduli mau anak-anak atau orang dewasa, semua harus “dibereskan”. (mendorong Didit dan memaksanya bersujud)
Didit                : Ayahku ndak salah! Beliau orang baik-baik!
Penjahat           : Itu menurutmu, Nak! (si Penjahat menyimpan pistolnya dan mengambil parang, hendak menggorok leher Didit)
Erwan              : (berteriak) Dit!! Jangan!! (berlari hendak mengambil parang dari tangan Penjahat, membuatnya sibuk menyingkirkan Erwan. Hal itu memberi kesempatan bagi Didit untuk berdiri dan menendang perut si Penjahat)
Penjahat           : (memegangi perutnya, menahan sakit) Sialan! (Berjalan pelan-pelan kemudian memaksa berlari, hendak menebas Didit dan Erwan bersamaan)
Andi                : (berteriak) Minggir! Awas karung pasir!! (Penjahat itu menoleh ke arah Andi dan karung itu menabraknya. Penjahat jatuh tersungkur)

Tiga Sekawan bersorak senang. Erwan meringis kesakitan karena tangannya tergores tajamnya parang dan berdarah.
Didit                            : (tertawa mengejek) Tadi ‘kan yang mau digorok aku, kenapa malah kamu yang kena?

Akhirnya Ayah Didit berhasil dibebaskan. Ayah Andi juga berhasil dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Penjahat dan aliansinya telah diserahkan pada polisi. Erwan dan Didit juga telah mengganti buku perpustakaan yang telah disobek mereka dulu. Andi pun menjadi sedikit terkenal di sekolahnya dengan julukan ‘Tiga Sekawan’.






Anggota          : Audia S. I (02)
                          Nabila T. A (09)
X Bahasa


Mengkonversi Cerpen Menjadi Naskah Drama

Berbagai bentuk karya sastra, misalnya cerita pendek (cerpen), dapat diubah bentuknya menjadi naskah drama. Pahami kembali bentuk naskah drama yang berupa dialog atau percakapan antarpelaku. Selain itu, naskah drama ditulis untuk dipentaskan atau dipanggungkan sehingga tentunya, percakapan lebih banyak dibandingkan penjelasannya.
Dalam mengubah cerpen menjadi teks drama, kita harus membuat bahasanya menjadi lugas dan lebih pendek atau menjadi dialog yang siap diperankan dan diperagakan oleh pemain drama.

Berikut langkah-langkah mengubah cerpen menjadi teks drama. 
- Pahami tema atau ide pokok cerpen yang akan diubah menjadi naskah drama.
- Bagilah cerpen menjadi beberapa bagian penting, lalu ubahlah menjadi babak/adegan. Biasanya, cerpen terdiri atas beberapa bagian yang memuat beberapa peristiwa penting yang melandasi cerita. Bagian-bagian penting itulah yang diubah menjadi beberapa adegan untuk memaparkan peristiwa-peristiwa tertentu.
- Susun dialog berdasarkan konflik yang terjadi antartokoh. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen biasanya dirangkai oleh suatu peristiwa yang di dalamnya memiliki konflik-konflik. Konflik-konflik yang terjadi antartokoh tersebut diubah menjadi dialog.
- Buatlah deskripsi-deskripsi (petunjuk pemanggungan) untuk menjelaskan latar akting, tata lampu, dan sebagainya.

Contohnya yang saya buat

 adalah sebagai berikut :


Kabut Ibu

 
 
 
 
 
 
147 suara

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11

Inilah conversi cerpennya menjadi naskah drama  ...
Kabut Ibu
http://cerpenkompas.files.wordpress.com/2012/07/kabut-ibu.jpg?w=150
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Tetangga 1              : “Aduh, itu rumah berasap kenapa ya? Apa ada kebakaran? Ayo kita tolongin, Jeng”
Tetangga 2              : “Bukan. Itu bukan kebakaran. Kabutnya bertambah tebal dari hari ke hari.”
Tetangga 1              : “Kok bisa gitu, Jeng?”
Tetangga 3              : “Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk!”

Begitulah cemoohan tetangga-tetangga. Awalnya, mereka mengira bahwa rumah Abbi dan Abah tengah sesak dilalap api. Tapi seiring waktu, mereka mulai bosan membicarakannya, karena mereka tidak pernah melihat api sepercik pun yang menjilati rumah. Mereka hanya melihat asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut.

***
Abbi  teringat peristiwa yang terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun.
Ayah                        : “Ibu, tolong tetap tenang disini ya. Ayah akan menyelesaikan urusan ayah sebentar.” (Seperti mencoba menenangkan ibu)
Ibu                           : (Menggigit bibir tanpa suatu kata pun dan terus mendekap Abbi)
Ayah                        : (Keluar dari kamar, menuju ruang depan an berbicara serius dengan beberapa orang)
                                  “Kita harus segera menyelesaikan masalah ini. Kita tidak bisa tanah kita direbut begitu saja.”
Bapak 1                   : (Terdengar lebih pelan) “Ya! Saya setuju! Tapi bagaimana kita dapat menembus benteng lawan?”
Bapak 2                   : “Bagaimana kalau……..” (Makin lama makin samar)

Terdengar desing golok.
Bapak2                    : “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi Abbi dan ibu yang tengah gemetaran di kamar belakang.
Ayah                        : (Memegang tangan ibu dengan erat)
“Cepat pergi ke rumah abah lewat pintu belakang! Dan jaga diri kalian.”
(Ayah terlihat sangat tidak rela tetapi harus melakukannya)
Ibu                           : (Melepas tangan ayah dengan terpaksa dan menuntunku)
                                  (Terburu-buru pergi ke rumah abah seperti perintah ayah)

Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera Abbi dan abah dari laknatnya malam. Beberapa kali Abbi terpeleset,  menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendong Abbi.

Sesampainya di rumah abah..
Ibu                           : (Mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran)
 Abah                       : (Mengambilkan segelas air putih untuk ibu)
“Abby, ayo tidur di kamar abah.”
(Menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelah Abbi. Di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali.
“Cepatlah tidur. Ini sudah terlalu malam.”

Subuh paginya
Abah                        : “Rinah! Rinah!” (Memanggil nama ibu, tetapi tidak menemukan ibu di seluruh bagian rumah.)

Selepas duha…
Abah                        : (Mengantar Abbi pulang dengan kereta untanya.)
  “Ibumu pasti sudah pulang duluan.”

Sesampainya di depan rumah…
Abah                        : (Secara tiba-tiba menutup kedua mata Abbi dengan telapak tangannya.)
Abbi                         : (Menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering)
Abah                        : “Ayo kita kembali lagi.”
Abbi                         : “Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?”
Abah                        : “Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” (Tersengal-sengal mengayuh kereta untanya)
Abbi                         : “Kotor kenapa, Bah?”
Abah                        :  (Terdiam sejenak) “Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
Abbi                         : “Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
Abah                        : “Ya banjir.”
Abbi                         : “Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
Abah                        : “Hus!”
***

Berselang jam, pada hari yang sama…
Abah                        : “Tunggu di rumah sebentar ya. Jangan membukakan pintu dan jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Abbi                         : “Iya, Abah.” (Merasakan hawa mencekam)
(Menginti di bilik jendela) “Sepi sekali. Seperti kampung mati saja.”

Selepas ashar….
Abbi                         : (Mendengar decit rem kereta unta di depan rumah.)
“Huaaaaahhhh……” (Merasa lega)
Abah                        : (Tertatih merangkul ibu)
Ibu                           : (Terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.)
Abbi                         : “Abah, Ibu kenapa? Kok Ibu kayak boneka,”
Abah                        : “Ibumu sedang sakit.”
Abbi                         : “Terus, ayah mana?”
Abah                        : (Tidak menjawab dan berlalu mengantar ibu ke kamar)
                                  (Perlahan duduk di sebelahku) “Hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup.”
Abbi                         : (Paham, dan merasa dadanya sesak menahan ngeri)
***

Semenjak hari yang merah itu…
Ibu                           : “Aku tidak mau keluar! Tidak mau!”
Abah                        : (Memaksa menghirup udara luar)
Ibu                           : “Tidak! Tidaaaaaak!!” (Menjerit dan meronta tak karuan)
Abbi dan abah         : (Hanya bisa pasrah dengan kelakuan ibu)

Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi. Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus abah dan Abbi yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun dituntun. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua Abbi dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang Abbi dan abah tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.

Abbi                         : “Aaaaaaaaa!!!! Aku capek dengan kabut ini!” (Mulai lelah mengusir kabut)
Abbah                      : “Abah juga. Dari mana ya asalnya?”
Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah Abbi dan abah menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah Abbi dan abah tilik dengan saksama, baru Abbi dan abah menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu.

 Abbi                        : “Setauku ibu tak pernah menitiskan air mata.”

Dari mata ibu selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah Abbi dan abah pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi Abbi dan abah, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Abbi dan abah hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak Abbi dan abah menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk Abbi dan abah.

Abbi                         : “Ibuuu…. Makan dulu ya,” (Menyelipkan melewati jendela kaca luar)

Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali Abbi dan abah menemukan makanan yang diselipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali.

Abah                        : “Rinah! Rinah! Kau tidak apa-apa?”
Abbi                         : “Ibu! Ibu!!!”
Di dalam kamar      : (Tidak ada sahutan)

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental.
Abbi                         : “Abah, aku tidak bisa melihat jelas ke dalamnya.”
Abah                        : “Ayo kita dobrak saja pintunya.”
Abbi                         : “Ya, Abah. Abbi takut ada apa-apa dengan.”
Abah                        : “Abah juga khawatir dengan keadaan ibumu.”
 Abbi dan abah        : (Menyiapkan congkel dan linggis.) “Ayo.. Satu… Dua…. Tiga….”
(Pintu itu bergeming. Abbi dan abah terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.)
Abbi                         : (Mengibaskan tangan untuk mengusir kabut itu pelan-pelan.)
Abah                        : ( Membuka jendela lebar-lebar.)

 Perlahan Abbi dan abah mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Abbi dan abah tidak melihat ibu di sana. Aneh, Abbi dan abah juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang Abbi dan abah saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Abbi dan abah masih belum yakin ibu hilang.
Abbi dan abah         : (Pergi ke kantor polisi)
Abbi                         : “Permisi Pak.”
Polisi                       : “Silahkan. Ada yang bisa saya bantu?”
Abah                        :Begini, Pak. Saya ingin melaporkan berita kehilangan”

 Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga Abbi dan abah temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun Abbi dan abah berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Abbi dan abah tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah Abbi dan abah adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, Abbi dan abah yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah Abbi dan abah, sebagaimana ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11