Menu

Kamis, 12 Juni 2014

Mengkonversi Cerpen Menjadi Naskah Drama

Berbagai bentuk karya sastra, misalnya cerita pendek (cerpen), dapat diubah bentuknya menjadi naskah drama. Pahami kembali bentuk naskah drama yang berupa dialog atau percakapan antarpelaku. Selain itu, naskah drama ditulis untuk dipentaskan atau dipanggungkan sehingga tentunya, percakapan lebih banyak dibandingkan penjelasannya.
Dalam mengubah cerpen menjadi teks drama, kita harus membuat bahasanya menjadi lugas dan lebih pendek atau menjadi dialog yang siap diperankan dan diperagakan oleh pemain drama.

Berikut langkah-langkah mengubah cerpen menjadi teks drama. 
- Pahami tema atau ide pokok cerpen yang akan diubah menjadi naskah drama.
- Bagilah cerpen menjadi beberapa bagian penting, lalu ubahlah menjadi babak/adegan. Biasanya, cerpen terdiri atas beberapa bagian yang memuat beberapa peristiwa penting yang melandasi cerita. Bagian-bagian penting itulah yang diubah menjadi beberapa adegan untuk memaparkan peristiwa-peristiwa tertentu.
- Susun dialog berdasarkan konflik yang terjadi antartokoh. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen biasanya dirangkai oleh suatu peristiwa yang di dalamnya memiliki konflik-konflik. Konflik-konflik yang terjadi antartokoh tersebut diubah menjadi dialog.
- Buatlah deskripsi-deskripsi (petunjuk pemanggungan) untuk menjelaskan latar akting, tata lampu, dan sebagainya.

Contohnya yang saya buat

 adalah sebagai berikut :


Kabut Ibu

 
 
 
 
 
 
147 suara

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11

Inilah conversi cerpennya menjadi naskah drama  ...
Kabut Ibu
http://cerpenkompas.files.wordpress.com/2012/07/kabut-ibu.jpg?w=150
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Tetangga 1              : “Aduh, itu rumah berasap kenapa ya? Apa ada kebakaran? Ayo kita tolongin, Jeng”
Tetangga 2              : “Bukan. Itu bukan kebakaran. Kabutnya bertambah tebal dari hari ke hari.”
Tetangga 1              : “Kok bisa gitu, Jeng?”
Tetangga 3              : “Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk!”

Begitulah cemoohan tetangga-tetangga. Awalnya, mereka mengira bahwa rumah Abbi dan Abah tengah sesak dilalap api. Tapi seiring waktu, mereka mulai bosan membicarakannya, karena mereka tidak pernah melihat api sepercik pun yang menjilati rumah. Mereka hanya melihat asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut.

***
Abbi  teringat peristiwa yang terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun.
Ayah                        : “Ibu, tolong tetap tenang disini ya. Ayah akan menyelesaikan urusan ayah sebentar.” (Seperti mencoba menenangkan ibu)
Ibu                           : (Menggigit bibir tanpa suatu kata pun dan terus mendekap Abbi)
Ayah                        : (Keluar dari kamar, menuju ruang depan an berbicara serius dengan beberapa orang)
                                  “Kita harus segera menyelesaikan masalah ini. Kita tidak bisa tanah kita direbut begitu saja.”
Bapak 1                   : (Terdengar lebih pelan) “Ya! Saya setuju! Tapi bagaimana kita dapat menembus benteng lawan?”
Bapak 2                   : “Bagaimana kalau……..” (Makin lama makin samar)

Terdengar desing golok.
Bapak2                    : “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi Abbi dan ibu yang tengah gemetaran di kamar belakang.
Ayah                        : (Memegang tangan ibu dengan erat)
“Cepat pergi ke rumah abah lewat pintu belakang! Dan jaga diri kalian.”
(Ayah terlihat sangat tidak rela tetapi harus melakukannya)
Ibu                           : (Melepas tangan ayah dengan terpaksa dan menuntunku)
                                  (Terburu-buru pergi ke rumah abah seperti perintah ayah)

Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera Abbi dan abah dari laknatnya malam. Beberapa kali Abbi terpeleset,  menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendong Abbi.

Sesampainya di rumah abah..
Ibu                           : (Mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran)
 Abah                       : (Mengambilkan segelas air putih untuk ibu)
“Abby, ayo tidur di kamar abah.”
(Menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelah Abbi. Di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali.
“Cepatlah tidur. Ini sudah terlalu malam.”

Subuh paginya
Abah                        : “Rinah! Rinah!” (Memanggil nama ibu, tetapi tidak menemukan ibu di seluruh bagian rumah.)

Selepas duha…
Abah                        : (Mengantar Abbi pulang dengan kereta untanya.)
  “Ibumu pasti sudah pulang duluan.”

Sesampainya di depan rumah…
Abah                        : (Secara tiba-tiba menutup kedua mata Abbi dengan telapak tangannya.)
Abbi                         : (Menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering)
Abah                        : “Ayo kita kembali lagi.”
Abbi                         : “Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?”
Abah                        : “Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” (Tersengal-sengal mengayuh kereta untanya)
Abbi                         : “Kotor kenapa, Bah?”
Abah                        :  (Terdiam sejenak) “Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
Abbi                         : “Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
Abah                        : “Ya banjir.”
Abbi                         : “Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
Abah                        : “Hus!”
***

Berselang jam, pada hari yang sama…
Abah                        : “Tunggu di rumah sebentar ya. Jangan membukakan pintu dan jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Abbi                         : “Iya, Abah.” (Merasakan hawa mencekam)
(Menginti di bilik jendela) “Sepi sekali. Seperti kampung mati saja.”

Selepas ashar….
Abbi                         : (Mendengar decit rem kereta unta di depan rumah.)
“Huaaaaahhhh……” (Merasa lega)
Abah                        : (Tertatih merangkul ibu)
Ibu                           : (Terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.)
Abbi                         : “Abah, Ibu kenapa? Kok Ibu kayak boneka,”
Abah                        : “Ibumu sedang sakit.”
Abbi                         : “Terus, ayah mana?”
Abah                        : (Tidak menjawab dan berlalu mengantar ibu ke kamar)
                                  (Perlahan duduk di sebelahku) “Hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup.”
Abbi                         : (Paham, dan merasa dadanya sesak menahan ngeri)
***

Semenjak hari yang merah itu…
Ibu                           : “Aku tidak mau keluar! Tidak mau!”
Abah                        : (Memaksa menghirup udara luar)
Ibu                           : “Tidak! Tidaaaaaak!!” (Menjerit dan meronta tak karuan)
Abbi dan abah         : (Hanya bisa pasrah dengan kelakuan ibu)

Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi. Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus abah dan Abbi yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun dituntun. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua Abbi dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang Abbi dan abah tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.

Abbi                         : “Aaaaaaaaa!!!! Aku capek dengan kabut ini!” (Mulai lelah mengusir kabut)
Abbah                      : “Abah juga. Dari mana ya asalnya?”
Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah Abbi dan abah menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah Abbi dan abah tilik dengan saksama, baru Abbi dan abah menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu.

 Abbi                        : “Setauku ibu tak pernah menitiskan air mata.”

Dari mata ibu selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah Abbi dan abah pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi Abbi dan abah, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Abbi dan abah hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak Abbi dan abah menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk Abbi dan abah.

Abbi                         : “Ibuuu…. Makan dulu ya,” (Menyelipkan melewati jendela kaca luar)

Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali Abbi dan abah menemukan makanan yang diselipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali.

Abah                        : “Rinah! Rinah! Kau tidak apa-apa?”
Abbi                         : “Ibu! Ibu!!!”
Di dalam kamar      : (Tidak ada sahutan)

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental.
Abbi                         : “Abah, aku tidak bisa melihat jelas ke dalamnya.”
Abah                        : “Ayo kita dobrak saja pintunya.”
Abbi                         : “Ya, Abah. Abbi takut ada apa-apa dengan.”
Abah                        : “Abah juga khawatir dengan keadaan ibumu.”
 Abbi dan abah        : (Menyiapkan congkel dan linggis.) “Ayo.. Satu… Dua…. Tiga….”
(Pintu itu bergeming. Abbi dan abah terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.)
Abbi                         : (Mengibaskan tangan untuk mengusir kabut itu pelan-pelan.)
Abah                        : ( Membuka jendela lebar-lebar.)

 Perlahan Abbi dan abah mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Abbi dan abah tidak melihat ibu di sana. Aneh, Abbi dan abah juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang Abbi dan abah saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Abbi dan abah masih belum yakin ibu hilang.
Abbi dan abah         : (Pergi ke kantor polisi)
Abbi                         : “Permisi Pak.”
Polisi                       : “Silahkan. Ada yang bisa saya bantu?”
Abah                        :Begini, Pak. Saya ingin melaporkan berita kehilangan”

 Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga Abbi dan abah temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun Abbi dan abah berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Abbi dan abah tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah Abbi dan abah adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, Abbi dan abah yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah Abbi dan abah, sebagaimana ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar